Melihat banyaknya ucapan Selamat Hari Natal di handphone membuat saya berpikir sebenarnya mengucapkan selamat pada seseorang yang merayakan harinya itu sama sekali menyenangkan. Untuk kedunya; yang mengucapkan dan yang menerima ucapan tersebut. Lagipula, bukankah buku-buku dasar moral kehidupan yang dimasukan ke dalam pelajaran Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKN/PKN/Kewarganegaraan) selalu mengulang-ngulang hal ini hampir di setiap lembarnya?
Satu hal yang membuat saya prihatin adalah pandangan bahwa antar umat beragama (yang berbeda tentunya) dilarang untuk saling menyelamati pada hari besarnya. Saya terperangah saat pertama kali mendengar hal tersebut (sedikit informasi, saya menghabiskan masa TK sampai dengan SMP di sekolah katholik). Saya selalu berpikiran bahwa agama adalah urusan saya yang paling pribadi dengan Tuhan, paling pribadi. Orang boleh memaksa saya melakukan ini dan itu namun pada akhirnya pilihan saya sangat tergantung pada hati dan pemikiran saya sendiri.
Karena hal diatas saya menjadi merasa bahwa orang lain harus menghormati pilihan saya, bagaimana untuk memulainya? tentu dengan menghormati pilihan mereka juga. Ini adalah pelajaran hidup yang paling mendasar. Kemana nilai-nilai mengenai hidup bermasyarakat yang digaung-gaungkan semenjak kita masih sangat kecil? kemana sikap toleransi? tenggang rasa? Mereka bukan sesuatu yang patut ditertawakan karena konsep yang mudah dimengerti, mereka bukan hanya kata-kata yang selewat, mereka adalah akar kita. Pemahaman-pemahaman ini mudah dimengerti karena sebenarnya hidup memang tidak serumit itu.
Mungkin salah satu hal yang membuat saya tergerak adalah saya pernah berada di dalam keluarga yang berbeda agama, ibu saya beragama katholik dan ayah beragama islam. Setiap tahun kami merayakan natal, paskah, iedul fitri, dan iedul adha. Pernah ada pertentangan? Tidak. Sejak awal sudah ada perjanjian untuk mendidik anak-anak secara katholik dan iya, mereka melakukannya dengan sangat baik. Ayah rajin mengantar-jemput kami ke gereja (bahkan kadang ikut masuk pada misa-misa besar seperti Natal, beliau sangat menyukai lagu-lagu gereja), ibu membuat ketupat sampai dini hari sebelum berlebaran.
Contoh tersebut adalah yang senyata-nyatanya yang pernah saya alami. Secara tidak langsung saya diajar untuk berpikiran lebih luas, bahwa yang membuat kita sulit untuk menghormati orang lain bukannya keadaan mereka (SARA) namun yang lebih mendasar lagi; kemampuan mereka untuk menghormati kita. Kesombongan untuk memulai sebuah kelompok yang eksklusif atau mayoritas sama sekali omong kosong--sama. sekali. omong. kosong. Manusia itu arogan dan egois, selalu mencari cara untuk lebih berada di atas diantara yang lainnya, yang membuat kita berbeda-beda adalah kuatnya kontrol diri masing-masing untuk menahan segala ego tersebut.
Pada akhirnya saya memilih untuk mengikuti ajaran Nabi Muhammad SAW. Kenapa? Karena saya merasa inilah yang terbaik dan ternyaman buat saya. Perlu ditekankan bahwa yang ternyaman dan terbaik bagi saya mungkin saja bukan untuk orang lain.
Hidup dengan damai, toleransi, dan saling menghormati bukankah itu bentuk masyarakat yang kita semua idam-idamkan?
No comments:
Post a Comment