Ia begitu terkejut mendapati sosok yang saat ini berdiri di depannya. Bagaimana mungkin orang ini ada disini?
Orang itu tersenyum kecil, menikmati raut wajah Madya yang kebingungan namun tak bisa dipungkiri ada seburat kebahagiaan di dalam sorotan matanya. Ia hanya diam menatap Madya yang sepertinya masih belum selesai menelaah apa yang ia lihat sekarang. Mimpinya tepat ada di depan mata dan kali ini ada banyak waktu untuk menikmatinya.
Setelah berhasil mendapati dirinya kembali pun Madya tetap terdiam. Tiba-tiba semua rasa yang selama ini sudah hampir luruh dari badannya kembali lagi. Semua, bersamaan dan dalam satu jenak. Marah, sedih, sebal, gemas dan.. bahagia. Mukanya memerah dan air mata mulai menggumpal di pelupuk matanya.
'Kamu..', desis Madya tertahan. Emosinya meluap seperti lahar gunung berapi yang sudah ribuan tahun terpendam. Wajahnya mulai dialiri air mata. Ia tak tahu harus bagaimana menghadapi orang ini. Rasanya ingin sekali memukul dan memeluknya pada saat yang bersamaan. Benci dan cinta -- sebal dan sayang sudah bergulat terlalu lama di dalam dirinya. Sampai-sampai Madya kehilangan cara untuk memisahkan mereka, bahkan medefinisikan perasaannya pun ia tak mampu lagi.
'Abi..', menyebut nama itu terasa sangat berat bagi Madya, membuat tenggorokannya semakin tercekat dan air matanya semakin deras mengalir. Dua hal utama yang Madya sudah siapkan untuk absen pada saat ia membayangkan perjumpaan ini. Sesuatu yang selalu ia bayangkan, hampir dalam setiap saat yang ia ingat.
'..aku benci kamu'.
Abi tertegun sejenak. Ekspresinya yang sejak tadi tidak jelas, karena berusaha menahan semua rasa yang sudah terlalu lama tersumpal dan menggumpal di pikiran dan hatinya, tiba-tiba tersenyum lebar. Serta-merta ia memeluk Madya yang sebenarnya masih belum bisa menguasai dirinya sendiri.
Plak!
Madya refleks mendorong dan mendaratkan tangannya di pipi kanan Abi.
'Aku..maaf, aku...', namun Abi terlihat tidak peduli dan sekali lagi berusaha merengkuh Madya kembali. Kali ini Madya terdiam, ia memejamkan matanya. Sekali lagi berusaha menguasai dirinya sendiri. Semuanya terlalu mendadak baginya, khayalan ini terlalu sering muncul dan berputar di kepalanya: sebuah kepulangan mutlak yang pernah sangat Madya inginkan, bandara Soekarno-Hatta yang lengang dan orang itu menyambutnya pulang dengan penuh senyum. Sebuah potret yang ingin Madya koyak-koyak sampai serpihan terkecil saat mengetahui Abi memutuskan untuk pindah ke Bali setahun lalu. Madya yang kecewa dan merasa ditinggalkan akhirnya memutuskan untuk meninggalkan Abi lebih dulu. Abi yang sepertinya tidak pernah keberatan dengan keputusan sepihak Madya.
Lalu tiba-tiba si orang tidak berperasaan itu muncul lagi di depannya tepat pada hari kepulangan Madya sambil tersenyum lebar bahkan sekarang dengan seenak jidat memeluknya. Madya sudah terlalu jauh mengantisipasi pertemuan ini dan sekarang semuanya hancur berantakan karena Abi berhasil memeluknya.
Tidak, Madya yang memutuskan untuk dipeluk.
No comments:
Post a Comment