Pages

Sunday, November 27, 2005

Caff'a'Ville part 2

Our Past
Ninta

Temenku si Chicha ini, sepertinya lagi jatuh cinta. Dia nga sadar waktu lagi cerita tentang si Ben itu matanya berbinar-binar. Hahahhaha, Chicha emang bener-bener anak yang lucu. Anaknya emang rada introvert, mungkin akibat hubungan antara ayah dan ibunya waktu Chicha masih kecil (yang setiap hari diisi dengan jeritan, amukan sang ayah, dan tangisan sang ibu), apalagi dia nga punya saudara kandung (Aku juga nga, sih). Jadinya nga ada yang bisa diajak curhat sama dia, sebelum dia ketemu sama aku dia bener-bener seorang gadis yang kacau, dan aneh menurutku waktu itu.

Aku dan Chicha kenalan waktu kelas 4 SD, waktu itu aku baru pindah dari LA. Aku lahir dan besar di sana. Sebenernya aku nga mau pulang ke Indonesia waktu itu, aku paling nga bisa tahan panas dan Indonesia menurut cerita kedua orangtuaku adalah negara tropis dan itu berarti sangat panas. Aku benci banget sama yang namanya panas sejak kecil kalo kena panas menyengat sampai kurang lebih 30 menit saja tubuhku sudah mngeluarkan keringat, karenanya kacamataku menjadi melorot dan rambutku langsung jadi lepek. Itu adalah hal yang paling aku benci dalam hidupku : Panas, keringat, dan kacamata melorot. Ukh! Benar-benar menyebalkan.

Waktu sedang memperkenalkan diriku didepan kelas kebanyakan anak tertarik denganku (Rupanya jarang ada anak baru di angkatan mereka) Tapi ada satu anak yang tidak tertarik denganku dia malah menguap dan memainkan pensil dan bolpennya Dasar anak aneh pikirku. Bu guru baruku itu menyuruhku untuk duduk di sebelah anak perempuan ini What a Nightmare!. Mau tidak mau aku menurutinya karena satu-satunya kursi kosong di kelas itu adalah kursi di sebelah anak aneh itu. ‘Ya, ampun... Kasian banget si anak baru. Masa disuruh duduk disebelah Chicha.’ ‘Iya,iya. Padahal keliatannya anak baru itu asik orangnya.’ Di sekelilingku terdengar beberapa bisikan seperti itu. Aku jadi semakin malas untuk duduk dengan anak perempuan, yang sepertinya bernama Chicha ini.

‘Jangan dengerin mereka.’ Katanya pelan waktu aku sampai di sebelahnya dan meletakan tas pink baruku. ‘Aku nga senakutin yang mereka bilang, kok.’ Lanjutnya tetap tidak memandang ke arahku. Walaupun dia tidak menoleh ke arahku aku tahu dia berbicara denagnku. Tapi... kok dia bisa tau pikiran aku, sih?

‘Kamu...’ kataku. ‘Chicha.’ Jawabnya pendek tidak memberiku kesempatan untuk menyelesaikan kalimatku. Benar-benar anak yang unik. ‘Aku Ninta. Salam kenal.’ Lanjutku sambil mengulurkan tanganku mengajaknya bersalaman. Tapi Chicha tidak membalas tanganku itu, boro-boro menyalamiku memandang ke arahku saja tidak. Menyebalkan!

Di kelas baruku itu akhirnya aku lebih banyak menghabiskan waktuku untuk mendengarkan pelajaran Bu Susi, guru baruku. Dan mengobrol dengan teman di depan dan belakangku Rita dan Dilla. Chicha tidak mendengarkan pelajaran, juga tidak mengobrol dengan siapapun. Aku hanya mengobrol dengannya ketika aku ingin meminjam penghapusnya atau barang lainnya.

‘Ta, Chicha itu emang dari dulu seperti itu, ya?’ tanyaku pada Rita saat kami sedang istirahat siang, Rita dan Dilla mengajakku ke lapangan belakang. Katanya lebih asyik disana, sepi.

‘Seperti itu gimana maksud kamu?’ tanyanya balik sambil mengeluarkan bekal makan siangnya.

‘Aneh maksud kamu?’ lanjut Dilla. Saat aku sedang sibuk mengeluarkan bekalku dari tas sekolahku. Sandwich daging! Yum!

‘Ya, itu maksudku.’ Jawabku sambil mulai mengunyah sandwich dagingku.

‘Sebenernya waktu kelas 2 nga kayak gitu. Tapi, nga tau sejak kapan dia jadi aneh begitu. Bukan cuma aneh, tapi juga jahat. Dia suka ngerjain anak-anak baru.’ Jelas Rita.

‘Iya,iya! Waktu kelas 2 aku maen sama dia, kok. Aku juga sering ke rumahnya. Ibunya cantik banget, malahan lebih cantik ibunya dia daripada ibuku.’ Lanjut Dilla sedikit tidak nyambung.

‘Eh, gimana kalo kita kerjain dia aja?’ usul Rita.

‘Iya, sebelom dia ngerjain kamu. Tadi ps istirahat pertama aku denger dia udah punya rencana buat ngerjain kamu, Nta. Katanya dia bakal masukin sampah ke tas kamu itu.’ Lanjut Dilla.

‘Eh? Kalian serius?’ tanyaku sedikit kaget. Apa yang ngebuat Chicha ngerjain aku kayak gitu?

‘Iya, kan tadi aku udah bilang. Dia tuh hobinya ngerjain anak-anak baru kayak kamu gini, Nta.’ Rita terdiam sebentar.’ Gimana kalo kita masukin sampah di tas dia. Sebelom dia ngerjain kamu, Nta.’ Usulnya lagi.

‘Ng...’ kataku sambil berpikir. ‘tapi siapa yang mau masukin sampah-sampah itu?’ tanayku kemudian.

‘Tentu saja kamu.’ Jawab Dilla cepat. ‘Kalo kami, aku rasa itu...’

‘Bukan ide yang bagus, soalnya guru-guru sudah menganggap kami anak-anak bandel. Tentu saja semua itu gara-gara Chicha. Dia yang menjebak kami.’ Sambung Rita. ‘Ok, kan?’

Aku hanya mengangguk pelan. Tidak tahu apa yang harus kuperbuat.

Keesokan harinya aku menjalankan rencana itu, waktu istirahat pertama aku menumpahkan isi tempat sampah yang baunya... Yuck! Banget itu ke dalam tas Chicha. Rita dan Dilla tertawa kesenangan sewaktu kuceritakan ketika istirahat ke dua di lapangan belakang yang dipenuhi oleh bata blok itu berbeda sekali dengan lapangan depan yang biasa dipakai istirahat oleh para murid-murid lapangan di depan ditumbuhi dengan rumput tebal yang halus.

Bukk

Makananku terjatuh. Aku pun ikut terjatuh sikut dan lututku berdarah rupanya karena tergesek bata blok tempat aku berdiri. Ada seorang anak cowok yang menabrakku.

‘Heii!!! Minta maaf dulu sama Ninta!!!’ teriak Rita pada anak itu. Tapi si cowok malah menjulurkan lidahnya. Benar-benar tak tahu diri! Selama hidupku belum pernah aku tidak dihormati seperti ini! Tak sadar aku pun menangis. Lukaku sakit banget.

‘Iiihh..’ jerit Dilla jijik saat dia melihat lukaku. ‘Ta, liat ,deh. Lukanya Ninta jijikin banget!!’

‘I...Iya...’ kata rita saat melihat lukaku itu, rupanya mulai mengeluarkan nanah. Lalu mereka berdua pun berlari meninggalkan aku sendirian di lapangan belakang yang sepi itu. Karena masih shock dan menahan sakit lukaku akupun menangis. Tak lama Chicha datang.

‘Ikut aku.’ Katanya pendek masih dalam suara yang pelan. Aku tak bertanya ke mana ia akan mengajakku aku hanya terdiam saat dia menggandeng tanganku dan mengajakku ke UKS.

‘Bu, ada orang yang jatuh.’ Katanya waktu melapor ke bu guru penjaga UKS. ‘ya ampun, kok bisa begini? Kamu pasti maen-maen ke lapangan belakang, ya?’ tanyanya khawatir saat melihat luka di kaki dan tanganku. Aku hanya bisa mengangguk lemah.

‘Chicha, sebaiknya kamu kembali ke kelas. Pelajaran sudah dimulai kembali.’ Perintah bu guru pada Chicha. Chicha pun hanya mengangguk pelan dan berjalan santai menuju ke kelasnya. Kok dia bisa tahu aku jatuh di lapangan belakang ya? Apa benar ia telah menyusun rencana itu, karena tahu aku yang menumpahkan sampah di tasnya? Tanyaku dalam hati. Masih tetap bingung.

Keesokan harinya aku nga masuk sekolah. Rupanya luka di kakiku itu terinfeksi sehingga aku menjadi demam. Nga terlalu tinggi sebenarnya tapi cukup untuk membuat kedua orangtua dan nenekku panik seharian mengurusiku.
Saat aku terbangun dari tidurku. Ada seseorang yang mengetok pintuku.

‘Non Ninta, ada tamu. Tuh...’ terdengar suara Bibi dari luar kamar.

‘Suruh masuk aja, Bi.’ Jawabku lemah dari dalam kamar. Tamu? Siapa, ya? Apa Rita dan Dilla? Tanyaku dalam hati.

Tapi ternyata yang masuk ke kamarku adalah Chicha. Chicha?

‘Hei, kamu nga apa-apa?’ kelihatan banget hanya pertanyaan basa-basi. Karena sebelum aku sempat menjawabnya dia sudah melanjutkan lagi. ‘Aku disuruh ke sini sama Bu Susi buat nganterin catetan hari ini.’

‘Oh. Ngomong-ngomong...’ aku terdiam sebentar berusaha mencari kalimat yang benar untuk menyusun pertanyaanku.

‘Kenapa aku bisa tahu kalo kamu ada di lapangan belakang?’ tanyanya sambil memandang sekeliling kamarku yang didominasi warna beidge itu. Kayaknya dia bener-bener mind reader, deh!

‘Aku denger obrolan Rita dan Dilla waktu mau masuk ke kelas. Merekalah yang menyuruh Thomas untuk nabrak kamu kemarin.’ Apa? ‘Aku tahu kamu kaget. Tapi itulah yang sebenarnya.’ Lanjutnya waktu melihat raut wajahku.

‘Ng..nga mungkin.’ Jawabku lemah. Tiba-tiba kepalaku sakit sekali.

‘Ya, terserah kamu, sih. Dan jangan berlaku seolah-olah kamu nga punya salah sama siapapun. Aku tahu kok apa yang kamu perbuat ke aku kemarin.’ Katanya pelan sambil mengamati foto-fotoku yang kutempel di kaca riasku. Deg!~

‘Ya udah, kalo gitu. Aku pulang dulu, ya. Ibuku sudah menunggu di depan.’ Katanya sambil berjalan menuju pintu kamarku. ‘Cepet sembuh, ya. Katanya pelan sambil menutup pintu kamarku.’

Dia... bener-bener unik. Aku merasakan rasa bersalah yang cukup kuat dari dalam hatiku.

Akhirnya keesokan harinya aku sudah bisa masuk sekolah lagi. Sewaktu istirahat tak sengaja aku mendengarkan percakapan antara Rita dan Dilla.

‘Ih... gw sebel banget samatu anak baru, gayanya sok bule banget!’ terdengar suara dari balik tembok. Yang kukenal sekali. Suara Rita!

‘Iya, si miss centil itu! Kenapa dia nga masuk sampe seminggu aja sekalian, gw juga kesel banget sama tingkahnya dia. Untungnya aja rada bego tu anak. Mau-maunya ngikutin akata-kata kita. Hhihihihi.’ Terdengar suara kedua dengan tawanya yang khas. Tawa Dilla!

Tanpa diperjelas lagiaku juag sudah tahu kalau mereka berdua membicarakan aku. Oh... hatiku benar-benar kacau. Akupun berlari tak menentu arah. Sampai akhirnya aku menabrak seseorang.

‘Aduh...’ kata orang itu.

‘Ninta?’ lanjutnya sewaktu melihat siapa yang menabraknya. ‘Kamu kenapa?’

Chicha!

‘Aku.. aku tadi denger waktu Rita Dilla lagi ngomongin aku. Ternyata mereka ngerjain aku.’ Kataku tak jelas sambil sibuk mengelap air mataku. Yang semakin lama semakin banyak. ‘Aku mau minta maaf sama kamu, aku bersalah sama kamu.’

Chicha hanya terdiam mengamati wajahku sebelum akhirnya dia berkata.

‘Kayaknya kamu nga ngebosenin kayak yang aku kira. Gimana kalo kita temenan?’ tawarnya sambil menjulurkan tangannya ke arahku.

Aku terdiam. Bingung. Tapi akhirnya aku membalas uluran tangan itu.

‘Ya, kita temenan.’ Jawabku pelan sambil berusaha tersenyum.

‘Nta!!!! Ninta!!! Bangun... udah jam 10!!!’ tiba-tiba aku merasakan seseorang menguncang-guncang tubuhku.
‘Mau tidur sampe kapan sih lo?’ Lanjut orang itu. Aku membuka mataku sedikit rupanay Chicha, ya ampun! Dia udah siap pake gayung segala. Aku cepat-cepat terbangun takut disiram dengan ember yang aku yakin isinya air dingin itu. Kepalaku jadi sedikit pusing karena bangun cepat-cepat.

‘Udah bangun? Makan yuk, ajaknya sambil berjalan menuju ke kamar mandi mengembalikan gayung pink-nya.

Ternyata semalam aku tertidur dan bermimpi mengenai pertemuan pertamaku dengan Chicha, sungguh unik!
Sekarang sudah hampir 6 tahun setelah kejadian itu. Aku dan Chicha masih berteman. Chicha juga udah nga seaneh dulu dan aku juga udah nga selugu dulu. Sebenernya sih, sejak kejadian itu aku jadi berubah (Sengganya itulah yang kuinginkan) Aku nga mau lagi jadi Ninta yang gampang terpengaruh. Aku mau jadi seseorang yang kuat dan tegas!

No comments: