by. Kanya Stira
Sejak pagi SMA Sandarina dilanda gosip yang menggemparkan. Tidak aneh sebenarnya melihat gosip begitu cepat beredar di sekolah itu, mudah saja, seseorang yang mengetahuinya akan menceritakannya pada temannya dengan embel-embel ‘Tapi ini rahasia, lho. Jangan bilang siapa-siapa, ya?’ dan temannya itu akan menambahkan sedikit ‘bumbu’ ke dalamnya lalu akan menceritakannya ke temannya yang lain dan berkata ‘Tapi ini rahasia, lho.’ Dan begitulah seterusnya sampai akhirnya tak sampai seminggu gosip itu telah menjadi rahasia umum. tapi tidak kali ini, walaupun sama-sama berjudul ‘gosip’ tapi sepertinya kali ini semua orang terlalu malas berbasa-basi untuk menceritakannya dengan embel-embel ‘Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya.’ atau ‘Ini rahasia, lho.’ Karena berita kali ini bukan berita sembarangan.
‘Serius deh! 2rius bahkan! Fostine udah putus sama Davi!’ kata Risa semangat kepada Shasta yang ditanggapi dengan kibasan tangan tanda ia tak peduli. Shasta sedang mengerjakan-menyontek-tepatnya pr matematika pagi ini.
‘Tau dari mana?’ tanya Dira sambil menarik kursi di depan Shasta yang masih konsentrasi dengan pr matematikannya. Dia lebih memilih utnuk mengerjakan prnya daripada mendengarkan gosip.
‘Kemaren ada yang ngeliat Fostine berantem sama Davi di Blurry Burger.’ Sahut Tina menjelaskan.
‘ada juga yang bilang kalo Davi selingkuh sama cewek lain.’ Bima ikutan nimbrung ngegosip sama cewek-cewek juga. Tak berapa lama beberapa cowok datang dan ikutan mendengarkan.
‘Ya ampun, kok bisa ya? Padahal mereka kan best couple di sekolah ini. Yang cewek cantik, pinter, populer dan cowoknya cakep, kapten sepak bola lagi!’ tanya Tina lebih ditujukan pada dirinya sendiri. Di SMA Sandarina berbeda dengan sekolah-sekolah lain di Jakarta, di sekolah ini sepak bola adalah olah raga ‘keren’ lebih keren dibandingkan dengan basket ataupun cabang lainnya. Dan tidak semua orang dengan mudah menjadi anggotanya.
‘HAH? SERIUS LO?’
semuanya terlonjak kaget. Tak ada yang menyadari kehadiran Farell rupanya.
‘Fostine sama Davi putus?’ tanyanya. Walaupun wajahnya menyiratkan penyesalan namun semua yang mendengar nadanya tahu bahwa ia senang mendengar berita itu. Sesaat Shasta terdiam lalu kembali melanjutkan pekerjaannya dengan berbagai pikiran yang berkecambuk di kepalanya.
‘Fostine!’ panggil Farel seusai pulang sekolah.
Yang dipanggil menoleh pelan. Semua yang melihatnya pasti langsung tau bahwa ia sedang mengalami depresi. Frustasi.
‘Ya?’ jawab Fostine. Pelan dan gamang.
‘Gimana kalo kita pulang bareng?’ tanya Farel tersenyum penuh harapan. Ia sedikit kecewa melihat keadaan dan tanggapan Fostine.
‘Oh...’ ucap Fostine. ‘Makasih. Tapi sori banget hari ini gw udah janji bakalan pulang bareng Chicha.’
‘Oh, kalo gitu-‘
‘Sori banget ya, Rel.’ Kata Fostine lagi sambil mengatupkan kedua tangan di depan mukanya. ‘Gw duluan, ya.’ Katanya kemudian sambil berlalu.
‘Farel!’ panggil Shasta sambil berlari mendekat dari arah koridor sekolah. ‘Kok lo ninggalin gw, sih. Jahat amat!’
‘Ninggalin...apa?-’ tanya Farel nga fokus, tatapannya masih mengikuti punggung Fostine.
Shasta terdiam. Bola matanya mengikuti arah pandang Farell dan mengerti keadaannya sekarang, entah mengapa di dalam hatinya terasa sebersit kekhawatiran.
‘Yuk, balik.’ Ajak Farel. Dan Shasta tahu, saat ini Farel sedang tidak ingin membicarakan apa pun. Toh, nantinya juga ia akan menceritakannya kepada Shasta, setidaknya itulah yang terjadi sejak mereka kecil, sejak mereka bertetangga. Tak banyak yang tahu ataupun menyangka bahwa Afarello Cahyadi mempunyai hubungan yang cukup dekat dengan Shanista Bhatari karena mereka telah berteman sejak kecil. Tina yang kemana-mana ngaku sebagai sahabatnya Shasta saja tidak mengetahui hal itu bahkan dia tidak mengetahui kalau sejak kelas 2 ini Shasta pulang-pergi ke sekolah nebeng Jazz hitam Farell. Begitu juga yang lainnya, instead of mereka mencurigai hubungan antara Shasta dan Farell mereka malah curiga kalau-kalau Shasta tidak mengenal Farell karena Shasta bukan anak yang mudah untuk memulai suatu pembicaraan dan mengadaptasi diri dengan lingkungan barunya. Seperti yang terjadi di awal Agustus lalu ketika mereka masuk kelas 2.
‘Ta, lo tau yang namanya Arell, nga?’ tanya Tina sambil terus berusaha fokus menjalankan mobilnya. Hari ini Shasta dan Tina memang sudah janjian untuk pergi ke LaffWalk sepulang sekolah sekedar untuk melewatkan weekend mereka di Caff’a’Latte coffeeshop favorit mereka lalu menemani Shasta mancari buku Harry Potter yang terbaru di Dreamwurld Bookstore.
‘Arell? Anak Sandarina?’ Shasta bertanya balik sambil memakai sabuk pengamannya.
‘Tuh, gw udah curiga lo nga tau, lo males banget sih kalo disuruh gaul. Arell, temen sekelas kita waktu kelas satu, kok. Yang tiap kali dimarahin ma Pak Toni gara-gara males potong rambut.’
Arell? Bukannya yang hobi disemprot ma Pak Toni itu Farell? Jangan-jangan emang....
‘Maksud lo Farell?’ tanya Shasta.
‘Ah, iya! Anak-anak sekelas pada panggil Arell, sih.’ Tina geli sendiri.
‘Tapi jangan bilang siapa-siapa, ya.’
‘Lo tau sendiri, gw emangnya bisa bilang ke siapa?’ jawab Shasta enteng. Memang benar kok, dia tidak tertarik pada hal-hal seperti ini (ngomongin orang lain). Dia lebih tertarik untuk nongkrong di Dreamwurld berjam-jam daripada melewatkan harinya bergosip ria sampai kuping dan mulut panas.
‘Ah, iya juga. Katanya si Arell-Arell itu-‘
‘Farell.’ Koreksi Shasta.
‘Iya Miss Melankoli, maksud gw Farell-atau-siapalah, katanya sekarang lagi excited banget ngedeketin Fostine, tapi kayaknya Fostine udah nyantol sama Davi, deh.’ Cerita Tina.
‘Oh.’ Komen Shasta. Selain dia tidak terlalu berminat, toh dia juga yang pertama kali didatangi dan diceritakan oleh Farell bahwa ia ditolak mentah-mentah oleh Fostine, Shasta jugalah yang pertama menghiburnya, dan Shasta jugalah yang pertama tahu Farell suka Fostine. Maka saat ini Shasta tidak memaksa Farell untuk menceritakan masalahnya, nanti kalo udah waktunya juga Farell bakal cerita.
‘Shasta!!!’ panggil Farell siang berikutnya setelah kemarin Farell mengantarnya sampai rumah dengan berdiam diri di mobil, Shasta tidak mengobrol dengannya ataupun bertemu dengannya. Tapi hari-hari selanjutnya Farell justru menceritakan hubungannya dengan Fostine yang semakin dekat. Hampir tiap waktu dia berada di rumah Shasta.
‘Ya?’ jawab Shasta sedikit heran.
‘Sori banget, ya. Hari ini kayaknya gw nga bisa nganterin lo.’ Katanya meminta maaf namun dengan wajah berseri-seri.
Pasti, Fostine...
Deg!
Perasaan itu muncul lagi...
‘Pasti lo... Umm, Fostine?’ tanya Shasta dengan nada yang sedikit berharap. Berharap Farell mengatakan ‘tidak’.
‘Hmm, tau aja lo.’ Katanya dengan mata berbinar. ‘Ya, udah deh. Gw duluan, sekali lagi sori banget.’ Katanya sambil berlalu.
‘Iya, nga apa-apa.’ Gumam Shasta pelan sambil tersenyum paksa berusaha menutupi kegalauan hatinya.
Akhirnya hari itu Shasta pulang naik bus umum sampai di rumah dengan selamat, setelah sebelumnya muter-muter nyari bus jurusan rumahnya sampai 2 jam karena ia lupa membawa uang dan di rumah tidak ada orang.
Hari-hari selanjutnya juga selalu seperti itu.
Farell sekarang sibuk dengan Fostine yang sepertinya sudah mulai membuka hatinya untuk ‘the other boy’ dan masalahnya Farelllah yang dimaksud si ‘the other boy’ itu. Wait? Did I say ‘masalah’? Batin Shasta. Kenapa juga itu harus menjadi sebuah masalah buat gw?
Sampai di sabtu sore yang seharusnya dilewati Shasta dengan tenang. Seperti biasa Shasta menjalankan ritual sabtunya : pergi ke Dreamwurld Bookstore dan membenamkan dirinya membaca sambil mendengarkan musik.
Tapi belum sampai di Dreamwurld Bookstrore, di depan Boxylivv, distro yang cukup terkenal di Laffwalk. Shasta melihat Fostine sedang dirangkul oleh seorang cowok yang secara jujur dapat dibilang keren dan mereka bercanda, terlihat sangat bahagia. tiba-tiba Shasta merasa mukanya memerah dan ia berjalan mendekati pasangan yang sedang berbahagia itu.
Fostine?? Bukannya dia sekarang lagi deket sama Farell? Dasar cewek nga bener!
‘Fostine?’ tanya Shasta tertahan, berusaha menguasai dirinya.
‘Eh? Shasta? Lagi ngapain di sini?’ katanya sambil melepaskan rangkulan cowok itu.
‘Bukan urusan lo.’ Jawab Shasta angkuh. ‘Sekarang gw nga heran kenapa Davi bisa sampe selingkuh. Karena lo berdua sama, sama muna-nya. Di depan orang lain pasang tampang sok sedih, sok fragile. Padahal lo berdua nga ada bedanya! harusnya lo malu.’ Kata Shasta tajam. Sesuatu yang tak bisa ditahannya bila ia sedang marah, mungkin emosinya tidak meledak-ledak seperti Tina tapi semuanya keluar dalam bentuk yang lebih menyakitkan.
‘Heh! Kalo ngomong jangan sembarangan lo!!’ sahut cowok yang bersama Fostine.
Shasta tidak memperdulikannya. Tidak peduli pada perbuatannya yang tidak beralasan apa urusannya kalo Fostine punya cowok lain? Toh, dia nga jadian sama Davi, tidak peduli pada mata Fostine yang mulai berkaca-kaca dan tidak peduli pada cowok yang marah dan berteriak memaki yang sedang ditahan Fostine. Sementara Shasta sendiri merasa ingin menangis dan berlalu dari hadapan kedua ‘pasangan yang sedang berbahagia itu’.
Shasta benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi pada dirinya akhir-akhir ini. Yang ia tahu ia hanya lelah, entah lelah atas alasan apa. Ia merasa bersalah sekali pada Fostine dan ia tak bisa memaafkan dirinya sendiri. kenapa gw jadi kayak gitu? Sok ngehakimin orang lain? Padahal gw juga nga ada bedanya sama mereka... egois! Gw harus minta maaf sama Fostine!
Sudah beberapa hari ini Shasta juga tidak bertemu dengan Farell. Entah kenapa Shasta mendapat kesan Farell mengindari dirinya.
Sampai suatu siang saat istirahat...
‘Shasta.’ Panggil Fostine.
‘Fostine?’ Shasta terkejut. Rencananya hari inilah ia akan meminta maaf pada Fostine. Tapi kok malah?
‘Gw mau bicara sama lo.’ Ucap Fostine sambil tersenyum. ‘Ikut gw.’ Katanya kemudian sambil menarik tangan Shasta.
Fostine mengajak mereka ke taman belakang pembatas antara SMA dan SMP Sandarina. Di sudut taman itu terlihat seorang cowok sedang duduk tercenung di salah satu kursi taman.
Oh my! Itukan cowok yang waktu itu ketemu di LaffWalk! Gimana, nih? Pikir Shasta panik.
‘Nga usah takut, dia orangnya baik kok.’ Kata Fostine tenang seakan dapat membaca pikiran Shasta. Shasta hanya dapat senyum terpaksa dan berusaha menengakan dirinya sendiri selama ini dia selalu berhasil menutupi hatinya kenapa kali ini harus tidak bisa? Tantang Shasta pada dirinya sendiri.
‘Abel!’ panggil Fostine. Sebenarnya tanpa perlu dipanggil pun seharusnya cowok ini sudah menyadari kedatangan Fostine dan Shasta.
‘Ni anaknya udah gw bawa, ketua OSIS! Mau diapain terserah!’ kata Fostine kemudian dengan mimik yang dibuat segarang mungkin dan membuat Shasta bingung harus tertawa atau takut.
Tunggu? Ketua OSIS?! Ya, ampun! Ini kan idola semua orang itu? ketua OSIS yang serba bisa, cakep lagi. Orang pop di sekolah, bahkan lebih dari Davi, kan?!
-- Dia? Maksud gw... dia pacar Fostine yang baru?!
‘Jadi ini! anak yang teriak-teriak di Laffwalk sampe bikin ade gw nangis, hah?!’ katanya garang pada Shasta.
Kali ini Shasta tidak perlu berbingungria lagi karena ia langsung memutuskan dia takut beneran pada cowok ini. tak terasa mukanya memerah, badannya memanas, dan air mata jatuh dari matanya. Ia terisak.
‘Lho? Hei! Kok nangis, sih?’ kata Abel panik. ‘ gw kan nga bermaksud bikin lo—sorry!’
‘Fos—tine. Maaf..in, hiks, gw...’ ucap Shasta dalam isakannya.
‘Tine, kok lo diem aja sih? Gimana, nih?’ Abel masih panik. ‘Tisu,tisu.. bawa tisu nga’ tanyanya kemudian pada Fostine. Namun Fostine tidak memperdulikannya. Hhehehehe... ni cowok lucu juga, mirip kayak Farell. Katanya ketua OSIS yang cool tapi kok panikan gini.
‘Iya, sebenernya yang salah gw kok. Gw udah ngasih harapan yang nga-nga ke Farell. Gw ngerti kok kalo lo marah sama gw.’ Jelas Fostine sambil menunduk.
‘Iya,iya gw tau lo berdua salah, tapi—‘ tapi kata-kata Abel terpotong.
‘Gw... gw kasian sama Farell. Selama ini dia gigih banget. Gw kira kalo gw deket sama dia gw bisa nerima dia. Tapi ternyata...’ Fostine menarik napas.
Abel terdiam. Shasta masih terisak.
‘Tapi, ternyata dia suka sama cewek lain...’ lanjutnya.
APA?!
‘Maksud-nya?’ tanya Shasta pelan, terlalu kaget bahkan untuk diekspresikan.
‘Iya, semakin gw deket sama dia, semakin gw sadar kalo yang dia suka itu bukan gw tapi cewek lain. Yang selalu dia inget, yang selalu dia ceritain, dan yang selalu dia perhatikan. Lebih dari dia inget, cerita, atau perhatian ke gw.’
‘Tapi—‘
‘Iya, gw rasa dia sendiri pun belom sadar. Padahal gw udah ngasih hintnya ke dia.’ Kata Fostine sambil tersenyum simpul. ‘Padahal, jujur. Gw juga lumayan tertarik sama dia. Tapi, kayaknya ini bukan yang terbaik buat kita semua kalo dia jadian sama gw.’
Shasta terdiam. Tubuhnya lemas. Farell suka pada cewek lain? Sementara dia sudah sampai menghina Fostine dan cowoknya yang super cakep ini di depan umum? aduh! Malunya!
Shasta berhenti menagis. Semuanya masih terdiam.
‘Yang pasti...’ Abel akhirnya membuka mulut. ‘gw nga pacaran sama Fostine kayak yang elo kira.’
Fostine tertawa sementara Shasta semakin bingung.
‘Shas, sama kayak lo and Farell. Kita ini juga Cuma teman sejak kecil, Abel itu udah gw anggep kakak gw.’
‘Iya, lo salah ngerti! ‘Makanya jangan suka bikin sugesti yang ngga-ngga!’ tambah Abel.
‘Tapi—bukannya...?’ Shasta benar-benar bingung. Oh, pantes aja tadi Fostine bilang dia udah lumayan tertarik sama Farell. Oh! Silly me!
Tapi lalu ketiganya tertawa.
‘Hei, kita udah nungguin lo dari tadi.’ Kata Fostine sambil melihat ke arah belakang Shasta. Shasta mengikuti arah pandang Fostine.
Deg! Mukanya memerah dan sekali lagi tubuhnya mengeluarkan keringat dingin.
Farell berdiri di pintu masuk taman dan berjalan ke arah mereka.
Abel berjalan mendekati Farell lalu mereka berdiri menjauh dan seperti membicarakan sesuatu. Shasta terdiam selain masih berdebar-debar ia juga masih belum terlalu bisa menguasai pikirannya. Sementara Fostine tersenyum kecil.
Abel dan Farell berjalan mendekat berdua. ‘Tine, bentaran rapat mulai, nih!’ sahut Abel memanggil Fostine.
‘Ah, iya nih, udah jam 3. Kita duluan ya.’ Jawab Fostine sambil pamit kepada Farell dan Shasta, keduanya hanya tersenyum lalu menganggukan kepala.
‘Gimana kalo kita duduk di sana.’ Ajak Farell seraya mengarahkan telunjuknya ke bangku kecil taman. Shasta hanya menangguk pelan.
Selama beberapa saat keduanya terdiam, seperti saling bingung memikirkan keadaan ini sampai akhirnya Farell membuka percakapan.
‘Ta. Maafin gw ya.’ Katanya sambil memandang Shasta sungguh-sungguh.
Shasta hanya terdiam. Maaf? Maaf untuk apa?
‘Gw belakangan ini ngejauhin lo...-hmm, Fostine marahin gw, Ta.’ Katanya sambil tertawa pelan.
Shasta yang sedari tadi menundukan kepalanya melihat Farell.
‘Dia bilang bukan dia cewek yang sebenernya gw sayang. Katanya, gw Cuma terobsesi aja sama dia.’ Lanjut Farell.
Terobsesi? Fostine?
‘Makanya, belakangan ini gw merenung. Memikirkan kata-kata dia.’ Ucap Farell pelan. ‘Dan, gw sadar yang dia bilang itu bener. Gw ternyata nga sesayang yang gw pikir ke dia. Buktinya waktu denger dia patah hati sama Davi... gw malah seneng, bukannya ikut sedih. Dan, karena itu gw jadi ngelupain seseorang yang selama ini selalu membantu gw, mau dengerin gw, mau menghibur gw... tanpa pernah sekalipun gw peduli sama perasaannya. Belakangan, gw bahkan nga sadar cuma mau bikin cewek ini cemburu dengan cerita tentang hubungan gw sama Fostine. Gw.. parah.’ Lanjutnya.
Siapa lagi? Apakah harus sekali lagi merasa hancur setelah merelakan Farell untuk Fostine? Rasanya Shasta tidak kuat.
‘Dan... orang itu adalah...’ Farell menundukan kepalanya. ‘kamu, Ta.’
Shasta bengong. Tunggu! Tadi dia bilang orang itu adalah... gw?
‘Kok diem aja sih, Ta.’ Kata Farell tidak sabar setelah berdiam beebrapa saat dan tidak mendapat respon apapun dari Shasta. Shasta melihat ke arah Farell jantungnya berdegup cepat dan ia menemukan wajah Farell yang juga memerah. ‘Kamu sadar nga, sih? Aku lagi nembak kamu.’
Shasta tak bisa menahan dirinya untuk tersenyum. Walaupun dadanya masih berdebar-debar tapi ia juga merasakan kelegaan yang luar biasa seperti ada batu besar yang keluar dari saluran pernafasannya.
‘Kamu... mau jadi orang yang selalu ada di sisi aku? Jadi orang yang selalu mendukung aku, jadi... ehm, pacarku?’ tanya Farell sungguh-sungguh masih dengan wajah kemerahan.
Shasta benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Ia ingin sekali berteriak ‘IYA!!! GW MAU!!!’ tapi rasanya lidahnya kelu. Dan yang terlihat adalah muka merah dan shock di mata Farell.
‘Ah, sorry.’ Katanya kemudian sambil berdiri. ‘Gw... gw tau ini terlalu cepat. Tapi, gw udah nga bisa lagi nahan perasaan ini. tapi-tapi gw ngerti kalo lo nga punya perasaan yang sama kayak gw, gw...’ Farell salah tingkah lalu berlalu dari tempat itu.
Shasta yang tadinya speechless seperti tersadar, dan panik. Lalu tanpa berpikir lagi berlari menyusul Farell.
‘Farell!!’ teriaknya. Farell segera menoleh ke arah Shasta.
Tanpa sadar Shasta menangis. Farell panik.
‘Lho? Eh, kok nangis sih?’ katanya bingung. ‘Jangan nanngis, donk.’ Ucapnya sambil memeluk Shasta. Entah ada dorongan apa di dalam pikirannya yang membuatnya ingin merengkuh Shasta. Shasta terkejut tapi masih belum bisa menghentikan isakannya ia juga mendengar degupan jantung Farell yang kurang lebih sama sepertinya.
‘Jahat.’ Katanya sambil memukul dada Farell pelan di dalam pelukan Farell.
Farell terdiam. Ia tak tahu harus mengatakan apa, ini semua salah gw, nga heran dia kesel sama gw! Sesalnya dalam hati sambil terus memeluk dan mulai mengelus rambut Shasta.
‘Sebenernya, waktu kamu ngeliat Fostine dan Abel keluar dari Boxylivv aku juga baru ketemu sama mereka di Caff’a’Latte. Fostine marah sama aku. Katanya aku nga sadar kalo di sekitar aku ada seseorang yang perhatian banget sama aku. Apalagi waktu denger cerita di LaffWalk dari Abel, aku jadi makin sadar kalo... aku kangen banget sama kamu. Jadi, belakangan perasaan aku nga karuan kalo bertemu, atau melihat kamu. Aku jadi bingung sendiri. harus bersikap gimana di depan kamu. Kamu nga pernah memperlihatkan ekspresi kamu dengan jelas, sih. Aku kan jadi bingung sama perasaan kamu ke aku. Tapi, Fostine menyarankan aku cepat bilang tentang perasaan ini sebelum kamu—‘ Farell terdiam.
‘Sebelum apa?’ tanya Shasta.
‘Sebelum kamu digaet cowok lain, jelas aku jadi panik.’ Lanjut Farell dengan nada lucu.
Shasta tersenyum dalam pelukan Farell. Iya juga ya, pikirnya. Selama ini ia tidak terlalu suka bergaul dengan orang lain dan membuka dirinya hanya pada buku mungkin inilah yang membentuknya tidak dapat mengeluarkan perasaan hatinya secara blak-blakan di depan semua orang.
‘Farell, selama ini gw mau dengerin cerita lo sampai berjam-jam tentang Fostine, Mau repot-repot ngebantuin lo juga karena...’ Kata Shasta setelah dapat menghentikan isakannya. ‘Karena gw juga sayang banget sama lo.’
Farell speechless ia tidak yakin dengan apa yang didengarnya barusan dan menarik pundak Fostine dari dalam pelukannya. Sesaat ia hanya dapat memperhatikan Fostine seperti mencari kebenaran dan harapan dari kedua bola mata Fostine.
‘Kamu... serius?’ tanyanya meyakinkan. ‘Kamu, tau kan kamu lagi ngomong apa, lagi ngomong ke siapa?’
Shasta tertawa. Bahagia. ‘Iya, aku tahu aku lagi ngomong sama Afarello Cahyadi. Dan, bilang sama dia kalo... aku juga sayang sama dia.’ Lanjutnya sambil mengerling nakal kepada Farell. Ia sudah memutuskan untuk lebih membuka dirinya dan mungkin ia dapat memulainya bersama Farell.
Farell tersenyum. Membuat lesung pipitnya terlihat makin jelas.
‘Maafin aku, ya.’ Ucapnya lembut sambil menarik Fostine ke dalam pelukannya lagi. Yang dimintai maaf menjawab dengan menganggukan kepalanya. ‘Sejak deket sama Fostine aku baru sadar kalo perasaan aku sama dia sebatas sahabat aja.’
Shasta tersenyum. Mengeratkan pelukannya.
--
cerita ini dimuat di Story Of The Month versi blog Sitta Karina Maret 2006
1 comment:
Kanya.. Apa kabar?
Lagi iseng2 bosen di kerjaan tus
baca cerpenmu.. KEREN! ^^
ayoo lanjutin dong menulisnya..
Menurut aku.. kamu tuh bakat writer banget deh :)
Keep up the good work!
Nadia
Post a Comment